Ir. SUKARNO |
Ada beberapa
segi khas yang dapat ditandai dari pemikiran Soekarno. Pertama, adalah
cita-citanya tentang persatuan nasional. Sukarno menempatkan kepentingan
bersama sebagai hal yang paling pokok diantara berbagai aliran pendirian dalam
pemikiran kaum nasionalis. Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap
nonkooperasi bukan hanya sebagai taktik, tetapi sebagai hal yang prinsip. Ia
menekankan tentang sia-sianya sikap lunak yang moderat, tentang
ketidakmungkinan suatu kompromi dengan imperialisme yang menjadi musuh itu, dan
menjelaskan tentang dua kubu yang saling berlawanan antara “sini” dan “sana”,
antara “pihak kita” dan “pihak mereka”. Ketiga adalah mengenai konsep
Marhaenismenya. Gagasan tentang “rakyat kecil”, si Marhaen mungkin tidak
merupakan suatu sumbangan besar yang khas dalam dunia pemikiran politik, tetapi
sesungguhnya konsep itu telah menampilkan suatu penilaian yang jujur tentang
sifat masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1930-an Soekarno mulai merumuskan
konsepnya yang baru yang diberinya nama Marhaenisme. Konsep Marhaenisme ini
banyak dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx. Teori perjuangan Marx, yang kemudian
dikenal dengan Marxisme banyak berpengaruh dalam benak Soekarno dan
menginspirasi Soekarno dalam pemikiran dan tingkah laku politiknya. Bahkan
Soekarno kemudian secara jujur mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan
adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, artinya Marxisme yang disesuaikan
dengan kondisi dan masyarakat Indonesia.Dalam
perkembangannya Marhaenisme kemudian menjadi dasar perjuangan Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Partindo yang didirikan Soekarno. Asas Mahaenisme adalah
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme adalah faham yang
mengandung faham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan,
persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama
untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam
faham kebangsaan itu harus ada semangat kerjasama dan gotong royong antar bangsa
Indonesia dan antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Sosio-demokrasi adalah faham yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Gagasan
ini merupakan reaksi terhadap demokrasi yang muncul di barat pada waktu
Soekarno mencetuskan ide ini. Demokrasi di Barat yang dipahami Soekarno adalah
Demokrasi yang lebih bersifat liberalistis yang hanya menjamin kebebasan
warganya dalam bidang politik saja dan tidak berlaku di bidang ekonomi.
Oleh karena itu supaya tidak terjadi
penindasan dan ada kebebasan di bidang ekonomi maka sistem kapitalisme didalam
masyarakat itu harus dihapus, karena selama sistem itu masih ada tidak mungkin
terjadi kebebasan ekonomi. Rakyat yang mengatur negaranya, perekonomiannya dan
kemajuannya supaya segala sesuatunya bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan
orang yang satu dengan orang yang lainnya. Rakyat menginginkan berlakunya
demokrasi social yaitu terlaksananya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Ia mempunyai prinsip utama yaitu, perikemanusiaan, nasionalisme yang
berperikemanusiaan, dan demokrasinyapun harus breperikemanusiaan pula seperti
yang dikatakan Gandhi.
Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan
rakyat Indonesia melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme seperti
yang dimaksudkan dalam sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi tersebut,
kemudian dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang menggunakan kata
Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala sistem yang
menindas dan memelaratkan rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori
perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan
revolusioner untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan
melawan dan menghancurkan sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen.
Marhaenisme yang merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat
Indonesia memperoleh bentuk formalnya sebagai filsafat dan dasar negara
Republik Indonesia yaitu sebagai Pancasila.
Dalam merumuskan Pancasila, Soekarno berusaha
menyatukan semua pemikiran dari berbagai tokoh dan golongan serta membuang
jauh-jauh kepentingan perorangan, etnik maupun kelompok. Soekarno menyadari
sepenuhnya bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan.
Menyadari akan kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut, Soekarno mengemukakan
konsep dasar Pancasila yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”.
Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat
kehidupan dan kepentingan bangsa, tetapi juga sebagai dasar dan filsafat serta
pandangan hidup bangsa. Sesuai dengan Tuntutan Budi Nurani Manusia, Pancasila
mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan, Kemanusiaan (humanisme), Kebangsaan
(persatuan), demokrasi dan keadilan. Ini merupakan dasar untuk membangun
masyarakat baru Indonesia, yaitu masyarakat sosialis Indonesia.
Prinsip pertama yang menjadi perhatian
Soekarno adalah Kebangsaan. Mengenai sila Kebangsaan ini, Soekarno terilhami
oleh tulisan Dr. Sun Yat Sen yang berjudul “San Min Chu I” atau “The Three
People’s Prinsiples”. Kebangsaan Soekarno semakin matang dengan pengaruh
dari Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa “My nationalism is humanity”.
Kebangsaan yang diyakini Soekarno adalah Kebangsaan yang berperikemanusiaan,
kebangsaan yang tidak meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan
chauvinisme. Faham bangsa yang dimaksud adalah tidak dibangun atas dasar faham
ras, suku bangsa kebudayaan ataupun Agama tertentu.
Nation yang dimaksud juga tidak hanya
mendasarkan kepada paham satu kelompok manusia yang bersatu menjadi bangsa
karena kehendak untuk bersatu (le desir
d’etre ensemble) menurut Ernest Renan, maupun berdasarkan paham
persatuan watak yang timbul karena persamaan nasib (“Eine
Nation ist aus schik salsgemeinschaft erwachsende Charaktergemeinschaft”)
menurut Otto Bauer, yang kedua-duanya menurut Soepomo dan Muh. Yamin sudah
“verouderd” atau sudah tua, melainkan harus disatukan dengan prinsip
Geopolitik. Jadi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang
ditakdirkan oleh Allah SWT mendiami seluruh kepulauan Indonesia antara dua
benua dan dua samudera, yang menurut geopolitik tinggal di pulau-pulau
Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian. Paham Kebangsaan ini
berlawanan dengan faham kosmopolitanisme yang menyatakan tidak ada kebangsaan.
Prinsip kedua yang diuraikan Soekarno adalah
Internasionalisme. Internasionalisme yang dimaksud disini bukanlah
kosmopolitanisme yang tidak menginginkan adanya kebangsaan. Internasionalisme
sangat berhubungan dengan prinsip Kebangsaan yang diuraikan Soekarno pada sila
pertama. Tujuan Soekarno dengan melontarkan prinsip ini adalah bukan hanya
sekedar membangun nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan, melainkan lebih
dari itu yaitu untuk membangun kekeluargaan bangsa-bangsa.Dalam
era sekarang lebih tepat dikatakan sebagai usaha membangun kerjasama antar
bangsa-bangsa dan membangun perdamaian dunia.
Kemudian pada prinsip yang ketiga Soekarno
menguraikan dasar Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Dalam
penjelasannya, Soekarno mengatakan bahwa negara Indonesia bukan satu negara
untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, melainkan negara ”satu
buat semua, semua buat satu”. Soekarno yakin bahwa syarat yang mutlak
untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Dengan cara
mufakat, membicarakan semua permasalahan termasuk agama didalam Badan
Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya Soekarno menguraikan prinsip yang
keempat yaitu Kesejahteraan. Dengan prinsip ”tidak akan
ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Soekarno menjelaskan
bahwa Badan Perwakilan belum cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat, karena
yang terjadi di Eropa dengan Parlementaire
democratie-nya, kaum kapitalis merajalela. Sehingga Soekarno
mengusulkan politik economische demokratie
yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Prinsip kelima yang diuraikan Soekarno adalah
ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Prinsip sila keTuhanan YME tersebut dimaksudkan oleh
Soekarno supaya bukan saja bangsa Indonesia berTuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia berTuhan Tuhannya sendiri. Negara memberi kebebasan kepada
setiap orang untuk menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa sesuai dengan
agama dan keyakinannya. Soekarno telah berpikir kedepan bahwa negara harus
memberi kebebasan kepada setiap warganya untuk memeluk agama dan keyakinannya,
sebagaimana tuntutan hak-hak asasi manusia.
Meskipun Soekarno menawarkan lima prinsip
dasar yang diberinya nama Pancasila, tapi saat itu Soekarno juga menawarkan
alternatif dari lima sila ini. Sifat perdamaian dan kebersamaan hasil
penggaliannya diungkapkan dalam kesimpulan akhir bahwa kelima prinsip dasar
Pancasila tersebut dapat diperas menjadi tiga dan tiga ini dapat diperas
menjadi satu prinsip kehidupan rakyat Indonesia, Gotong Royong. Soekarno memeras lima sila tersebut
menjadi tiga sila saja yang meliputi:
Socio-Nationalisme (Kebangsaan dan
Perikemanusiaan)
Socio-Demokrasi (Demokrasi dan Kesejahteraan)
Ke-Tuhanan
Dari sini tampak jelas terlihat bahwa
Soekarno menghidupkan kembali pemikirannya pada akhir tahun 1920-an dimana
rumusan pemikiran Soekarno dipakai sebagai asas dalam partai politik yang
didirikannya. Menurut Soekarno sendiri, pada 1920-an perkembangan pemikirannya
telah mencapai fase yang mantap, yang tidak lagi berubah-ubah. Pada tahun
itulah diletakkan dasar-dasar pemikiran politik Soekarno secara mantap, yakni sintesa
atas tiga aliran seperti yang telah dijelaskan diatas.
Pancasila merupakan puncak dari perkembangan
pemikiran Soekarno yang selalu mencoba untuk mengawinkan semua ide yang ada dan
tumbuh didalam masyarakat menjadi suatu ide baru yang lebih tinggi tempatnya
dan dapat diterima oleh semua elemen penting yang ada. Pancasila oleh Soekarno
diyakini sebagai pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere optrekking daripada
Declaration of Independence dan Manifesto Komunis karena didalam Declaration of
Independence tidak ada keadilan social atau sosialisme sedangkan didalam
Manifesto Komunis tidak mengandung Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pancasila
mengandung keduanya sehingga Soekarno menganggap bahwa Pancasila mempunyai
nilai yang lebih tinggi dari Declaration of Independence maupun Manifesto
Komunis.
Pancasila Soekarno versi pra kemerdekaan
tersebut berkembang “definisinya” ketika Soekarno memegang kekuasaan pada masa
Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno berpidato dengan
judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (The Rediscovery of Our Revolution). Isi
pidato tersebut kemudian dianggap sebagai Manifesto Politik atau dikenal
sebagai Manipol yang kemudian berkembang menjadi Manipol USDEK (Undang-undang
Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin,
dan Kepribadian Nasional). Menurut Soekarno, Manipol USDEK ini merupakan
intisari dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.
Tidak hanya itu, dalam rangka menyatukan
seluruh kekuatan nasional yang ada pada waktu itu, pada awal tahun 1960
Soekarno memperkenalkan pemikiran baru untuk melengkapi doktrin revolusinya.
Doktrin tersebut bernama NASAKOM yang merupakan akronim dari Nasionalis, Agama,
Komunis. Nasakom adalah lambang persatuan atas pencerminan golongan-golongan
dalam masyarakat Indonesia yang meliputi golongan nasionalis, agama, dan
komunis.
Menurut John D. Legge, sebenarnya ia
menghidupkan kembali pemikirannya pada tahun 1926 bahwa kepentingan kaum
nasionalis, islam, dan marxis dapat sama dan cocok satu sama lain. Dari sini
sebenarnya dapat diketahui bahwa Soekarno tetap konsisten akan tujuannya, yaitu
persatuan nasional. Di masa mudanya, pada tahun-tahun 1920-an sampai 1940-an
cita-cita persatuan nasional itu ditujukan untuk menggalang kekuatan dalam
mengusir kolonialisme di Indonesia dan di masa tuanya pada tahun 1950-an
konsep persatuan dari golongan-golongan utama di Indonesia ditujukan untuk
melawan imperialisme, suatu bentuk dari kolonialisme modern. Konsepsi-konsepsi
seperti Pancasila, Nasakom, Manifesto Politik/ USDEK, dikembangkan Soekarno
untuk mendukung cita-cita persatuan nasional yang diperjuangkannya sejak dahulu.
Bernhard Dahm, seorang penulis biografi
Soekarno pun mendapat kesan yang sama, bahwa pada pekan-pekan terakhir
menjelang turunnya dari dunia politik Indonesia, Soekarno tetap konsisten
dengan apa yang diperjuangkannya pada era 1920-an. Dia tetap mengharapkan bahwa
di tengah pluralitas yang ada, bangsa Indonesia mampu membina persatuan, dan ia
tetap teguh dalam perlawanannya terhadap musuh lamanya, yakni “kolonialisme”
dan “imperialisme”. Oleh karena itu pesan pokok Soekarno tetap sama, yaitu
disatu pihak melawan imperialisme sampai keakar-akarnya, dan di lain pihak,
membangun suatu tatanan baru dengan jalan menyatukan berbagai ideologi yang
berbeda kedalam suatu kesatuan yang harmonis.
Menurut Soekarno, Pancasila selain menjadi
Dasar Falsafah Negara juga mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu dan
sekaligus sebagai landasan perjuangan bangsa. PKI hanya menerima Pancasila
sebagai kenyataan obyektif yang harus dipakai sebagai landasan dan alat
memperkuat diri, selama PKI belum merasa kuat untuk memaksakan ideologi dan
konsepsi politiknya. Dalam pengamalan Dasar Falsafah Negara Pancasila untuk
mencapai cita-cita revolusi Indonesia ialah masyarakat adil makmur, Soekarno
menggunakan konsepsi Nasakom secara mental ideologi yang diharapkan dapat
mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai aliran dan paham
politik termasuk PKI, tetapi bagi PKI, konsep Nasakom diterima sebagai
pengertian fisik yang akan dimanfaatkan sebagai legalitas dalam usaha menuju
tujuan revolusi menurut konsepsinya.